KBD: Berita dan Artikel; 27 Syawal 1437 H / 1 Agustus 2016
Assalaamu 'alaykum wR. wB.
Segala puji bagi Allah SWT atas segala curahan ni'mat dan karuniaNya yang tiada terhingga.
Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW............
Sahabat KBD, marilah kita bermohon kepada Allah SWT semoga kita selalu dapat berupaya untuk meningkatkan iman, ilmu dan amal kebaikan dalam hidup kita..
Sahabat, sore nanti insyaa Allah kita akan bertemu lagi dalam pertemuan KBD. Insyaa Allah, ada dua sahabat kita yang akan membawakan materi:
* Catoer masih akan melanjutkan bahasannya tentang bisnis Islami
* Miswar akan membawakan kajian siroh
Semoga Allah mudahkan kita untuk menghadirinya.
Buat para sahabat lainnya yang ingin menyumbangkan waktu, pengetahuan serta ilmunya atau yang ingin sharing pengalaman, atau ada usulan tentang materi yang perlu dibahas, silakan hubungi Aziz di 5253, Miswar di 3303 atau toto di 5113 untuk mendapatkan 'jadwal tayang' nya.
Untuk bahan bacaan pekan ini, silakan simak copas artikel di bawah ini dari hidayatullah dot com.
Buat para sahabat yang memerlukan, insyaa Alloh email ini dapat juga diakses di kbdorif dot blogspot dot com.
Jika ada teman lain yang ingin di sharing, silakan forward email ini atau daftarkan alamat email nya ke toto.
JIka ada yang tidak berkenan untuk menerima e-mail ini, silakan minta ke toto agar dikeluarkan dari daftar pengiriman.
Jangan lupa - jangan segan - jangan ragu, ajak teman dan sahabat lainnya untuk ikut serta hadir... Sampai jumpa nanti sore, Insyaa Alloh.......
Wassalaamu 'alaykum.....
Hidayatullah.com
Akhir Zaman
Ilmu Diangkat, Kebodohan Merata
Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, Rasulullah SHalallahu 'Alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala tidak mencabut ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga, tidak ada satu ulama pun yang tersisa. Pada saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari mereka yang bodoh. Dan pada saat pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka para pemimpin tersebut memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.[HR. Al-Bukhari, Al-Ilm, hadits no. 100, [Fath Al-Bârî (1/234)]; Muslim, Al-'Ilm, hadits no. 2673 [Muslim bi Syarh An-Nawawi (4/440)].
Membandingkan antara metode belajar modern dengan para salaf, nampaknya ada sisi lain yang menarik untuk dikaji. Konon metode belajar modern mengajarkan agar suasana belajar dibuat sedemikian menyenangkan, jauh dari tekanan dan paksaan. Sementara para salaf mengajarkan bahwa menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dan bersusah payah.
Di era modern, guru didorong untuk menjadi 'teman' belajar bagi muridnya. Sementara di era salaf seorang guru adalah tranformer pengetahuan sekaligus karakter. Lebih dari itu para guru (ulama) memerankan diri sebagai solusi dan rujukan utama dalam semua persoalan hidup manusia.
Di era informasi yang sedemikian pesatnya, peran guru banyak tergantikan oleh media elektronik. Dampak yang muncul adalah lahirnya para penuntut ilmu yang merasa tidak butuh guru dan ingin cepat sampai maqam tertinggi dalam berbagi ilmu. Inilah fenomena yang kita saksikan, saat dimana seseorang tidak tertarik untuk mendalami ilmu hanya lantaran bahwa gadget di tangannya akan memberikan jawaban atas apapun masalah yang dihadapinya.
Inilah yang membedakan kwalitas para penuntut ilmu di masa salaf dan era modern.
Penyakit yang menimpa kepada Bani Israel yang merasa tidak butuh kepada ulama dan mencukupkan diri dengan membaca, kini telah banyak menimpa kepada umat Islam. Jadilah mereka orang yang sok pintar walau hakikatnya adalah bodoh.
Dalam sebuah riwayat disebutkan: Pada saat haji Wada', Rasulullah SHalallahu 'Alaihi Wassallam berada di depan orang-orang dengan memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas di atas satu unta yang berwarna putih agak gelap. Beliau bersabda, "Wahai manusia, tuntutlah ilmu sebelum ilmu tersebut dicabut dan diangkat!" Maka ada seorang badui Arab menyela sabda beliau, "Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di sisi kami terdapat lembar-lembar catatan dan kami pun telah mengajarkan kepada isteri-isteri kami, anak-anak kami, dan bahkan para pembantu kami?" Maka Rasulullah SHalallahu 'Alaihi Wassallam menengadahkan mukanya ke atas dan terlihat dari rona mukanya yang memerah, pertanda beliau sedang marah. Kemudian beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ هَذِهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ الْمَصَاحِفُ لَمْ يُصْبِحُوا يَتَعَلَّقُوا بِحَرْفٍ مِمَّا جَاءَتْهُمْ بِهِ أَنْبِيَاؤُهُمْ أَلَا وَإِنَّ مِنْ ذَهَابِ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ ثَلَاثَ مِرَارٍ
"Duh, celaka kamu ini. Lihatlah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, bukankah di sisi mereka juga terdapat lembar-lembar catatan, namun demikian tak ada satu huruf pun di antara catatan tersebut yang hinggap di hati mereka dari apa yang telah diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Ingatlah, sungguh, hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya orang yang memilikinya (beliau mengatakan hal ini sebanyak 3 kali)."'[HR. Ahmad]
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya orang yang berilmu hadir dan menetap dalam sebuah komunitas masyarakat. Hadits ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya kehadiran seorang pakar dan ulama meskipun di tengah-tengah mereka telah terdapat berbagai catatan (literatur). Sebab mereka inilah yang akan menjelaskan maksud dari semua isi catatan tersebut. Untuk kontek global seperti sekarang ini, maka keberadaan media sosial dan smartphone tidak akan pernah mampu menggantikan peran ulama. Dengan kata lain, walau di tangan seseorang telah terdapat gadget tercanggih yang memuat berbagai kandungan ilmu yang sangat lengkap, namun hal itu tidak menjamin seseorang akan berada dalam ilmu yang benar manakala mereka meninggalkan ulama. Itulah mengapa Rasulullah SHalallahu 'Alaihi Wassallam mengingatkan bahwa dicabutnya ilmu ini adalah dengan diwafatkannya ulama.
Isyarat yang terkandung dalam nubuwat di atas adalah bila ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, maka itulah bentuk kematian ilmu. Juga Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassallam mengingatkan bahwa tercabutnya ilmu adalah salah satu penyebab bagi kemusnahan suatu bangsa, di samping ia juga mengakibatkan umat tersebut akan menyimpang jauh dari jalan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata'ala dan syariah-Nya.
Dari Sahl dari ayahnya, Rasulullah SHalallahu 'Alaihi Wassallam bersabda:
لَا تَزَالُ الْأُمَّةُ عَلَى الشَّرِيعَةِ مَا لَمْ يَظْهَرْ فِيهَا ثَلَاثٌ مَا لَمْ يُقْبَضْ الْعِلْمُ مِنْهُمْ وَيَكْثُرْ فِيهِمْ وَلَدُ الْحِنْثِ وَيَظْهَرْ فِيهِمْ الصَّقَّارُونَ قَالَ وَمَا الصَّقَّارُونَ أَوْ الصَّقْلَاوُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَشَرٌ يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ تَحِيَّتُهُمْ بَيْنَهُمْ التَّلَاعُنُ
"Umatku ini akan konsekuen terhadap syariah selama di tengah-tengah mereka tidak terdapat 3 perkara: selama ilmu belum dicabut dari mereka, selama di tengah mereka tidak banyak terdapat anak hasil dari hubungan zina, dan selama di tengah mereka tidak terdapat para shaqqarun." Seseorang bertanya kepada Rasulullah SHalallahu 'Alaihi Wassallam, "Siapakah shaqqarun (atau shaqlawun- keraguan perawi) itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Mereka ini adalah orang-orang di akhir zaman yang menjadikan salam penghormatan mereka dengan saling melaknat."
Betapa nyatanya peringatan beliau kepada umat umat akhir zaman ini. Ya, hari ini kita menyaksikan banyak sekali para pemuda yang baru belajar satu atau dua kali pertemuan sudah berani memberikan hujatan dan celaan kepada para ulama senior. Hanya dengan bermodal copas sebuah artikel mereka sudah berani berkomentar layaknya para pakar.
Lihatlah dunia FB juga group sosial lainnya, komen bernada celaan dan saling laknat telah menjadi kebiasaan. Fenomena shaqqarun dan shaqlawun telah merebak. Semua merasa paling benar, bahkan siapa yang paling ahli mendebat dan membantah diidentikkan dengan orang alim yang cerdas. Padahal hakikatnya adalah alim dalam melaknat dan mencela. Semoga Allah menyelematkan kita dari keburukan terjauhkannya ulama dalam kehidupan kita. Wallahu a'lam bish shawab.*
Penulis buku-buku akhir zaman
Rep: Admin Hidcom
Editor:
© Hidayatullah.com, 1996-2016
Kebanyakan
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
AL-QURAN SERING MENYEBUT istilah "kebanyakan" (misalnya, "…aktsaruhum la ya'qilun") dengan menunjukkan kualitas mental yang buruk, mudah terpengaruh, tidak berpikir jernih, mudah lalai dan lengah, mudah ingkar, tidak beriman, fasik, tidak bersyukur dan mudah mengalami kesesatan.
Orang-orang kebanyakan adalah orang yang merugi. Meski tidak menyebut dengan ungkapan "kebanyakan", tetapi yang dimaksud dengan merugi pada Surat al-Ashr adalah orang kebanyakan. Bahkan lebih mendasar lagi, seseungguhnya setiap manusia itu merugi, kecuali bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam surat at-Tin, orang yang selamat dari asfala safilin merupakan perkecualian, yakni "kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya".
Orang kebanyakan adalah golongan yang tidak peka., tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa, dan mudah digiring opininya. Orang kebanyakan adalah mereka yang tidak bersyukur (dan agaknya kita masih termasuk yang demikian). Allah Ta'ala berfirman;
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللّهُ مُوتُواْ ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung-kampung halaman mereka, sedangkan mereka berribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, 'Matilah kamu' kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi 'kebanyakan' manusia tidak bersyukur." (QS al-Baqarah [2]: 243).
Kebanyakan bisikan dan yang serupa dengan itu merupakan sampah. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Allah berfirman;
لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً
"Tidak ada kebaikan pada 'kebanyakan' najwa mereka, kecuali najwa dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari ridha Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS an-Nisa [4]: 114).
Najwa adalah bisikan, obrolan atau perbincangan. Ia juga berdekatan maknanya dengan kalam (ucapan). Ibnu katsir menerangkan bahwa tidak ada kebaikan dalam najwa manusia, kecuali najwa orang-orang yang mengungkapkan ketiga hal itu. Ibnu Katsir mendasarkan pada hadits riwayat Ibnu Mardawih, "Semua ucapan anak Adam memberatkannya, kecuali berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla, menyuruh kepada yang ma'ruf, atau melarang dari kemungkaran." (HR Ibnu Mardawih).
Kebanyakan najwa adalah sampah dan sia-sia, tetapi kebanyakan orang mengikutinya, kecuali orang-orang yang peka mata hatinya. Mengikuti pendapat kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi akan mengantarkan kita kepada kesia-siaan; hidup tanpa makna, mati tanpa arti.
Jika peribahasa latin mengatakan Vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan), maka al-Quran mengingatkan kita, "Jika kamu mengikuti 'kebanyakan' orang-orang yang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (QS al-An'am [6]: 116).
Mengikuti logika kebanyakan akan membawa kita pada kejumudan, kemunduran dan bahkan kehancuran. Itu sebabnya perlu orang-orang yang ahli dan mumpuni untuk menangani urusan umat. Mereka harus memiliki kemampuan yang benar-benar dapat diandalkan, sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung-jawabnya. Jika urusan tidak dipegang oleh ahlinya, maka tunggulah saatnya kehancuran datang. Apalagi jika kita serahkan begitu saja kepada orang kebanyakan karena kita menganggap seluruh masyarakat telah cukup dewasa untuk memilah.
Benarlah kata 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu:
أطع العاقل تغنم و إعص الجاهل تسلم
"Taatilah orang-orang yang berakal niscaya kamu beruntung, dan jauhilah pendapat orang-orang yang bodoh niscaya kamu akan selamat."
Wallahu a'alam bishawab. Semoga Allah menolong kita.*
Guru Motivasi Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu. Facebook: Mohammad Fauzil Adhim, Twitter: @kupinang
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
© Hidayatullah.com, 1996-2016
Komentar
Posting Komentar