AMAT KEPINGIN JADI PENULIS BERBOBOT
Semenjak sering bergaul dengan Abi Ihsan, Amat jadi sering terlihat bengong. Pagi ini, sesudah salat Subuh, Amat terdeteksi ngelamun lagi di selasar Musola.
Imat yang prihatin dengan keadaan sahabatnya itu, menghentikan kegiatannya menyapu halaman musola lalu menghampiri Amat.
"Ente bengong lagi, Am. Knapa, sih?" tanya Imat.
Amat mengangkat wajahnya, "Ane ga lagi bengong, bro." jawabnya.
"Lha, trus, ente lagi ngapain? Dari tadi diem aja." Imat mengungkapkan kekepoannya.
"Ane lagi belajar mengangkap ide, kayak yang diajarin Abi Ihsan. Ane pengen jadi penulis berbobot kayak dia." Amat memberikan penjelasan.
"Gitu, ya..." Imat tidak bisa membayangkan apa yang dikatakan Abi Ihsan kepada Amat, namun sepertinya ada sesuatu yang salah dengan pemahaman Amat. Maklum, Imat sudah sangat kenal gaya Abi Ihsan yang selalu bercanda.
Imat lalu duduk di sebelah Amat. "Emangnya Abi Ihsan penulis berbobot? Ente tahu dari mana?"
Amat mendelik ke arah Imat. "Ente jangan sembarangan, deh! Abi Ihsan itu emang penulis. Bang Indra, bang Jay dan yang lainnya juga bilang udah pernah baca tulisan-tulisannya. Abi Ihsan sendiri pernah ngaku bahwa dia itu penulis berbobot."
Imat agak kaget dengan reaksi Amat, lalu berusaha menetralisir keadaan. "Maaf, deh.... Kan, ane ga tahu kalo Abi Ihsan pernah bilang begitu...Nah, sekarang pertanyaan ane, Abi Ihsan itu ngasih tahu gimana caranya jadi penulis berotot, eh, berbobot?"
Tetiba mata Amat berbinar-binar.... "Abi Ihsan ga pernah ngasih tahu secara langsung, sih. Tapi ane tahu kebiasaan dia kalo lagi mau nulis. Kayaknya itu rahasianya" Amat memandang Imat dengan sinar mata cerah.
"Kebiasaan apa, tuh?" tanya Imat.
"Ane kasih tahu, tapi ente mesti traktir ane jajan, Soalnya, ini rahasia" kata Amat.
Imat berfikir sejenak lalu berkata, "OK, deh. Nanti ane traktir.."
Amat mendekatkan wajahnya ke arah telinga Imat lalu berbisik, "Rahasianya, tuh, Abi Ihsan selalu ngemil saat nulis. Kayaknya cemilannya itu yang bikin idenya lancar mengalir..."
Imat terhenyak mendengar bisikan Amat. Sepertinya memang ada yang salah...
"Emang cemilannya apa?" tanya Imat mengorek keterangan lebh detil.
Amat masih bersikap hati-hati lalu berbisik. "Biasanya biskuit atau keripik singkong pedas"
Sekarang, Imat merasa hampir 100% yakin ada kesalahan dalam pemahaman Amat.
Imat segera bangkit dari duduknya lalu mengajak Amat, "Ayok.." katanya.
"Mau jajan sekarang, nih?" Amat melompat girang. "Siyaap!" katanya sembari mengangkat tangan ke dahi tanda memberi hormat.
Imat tidak mengkonfirmasi pernyataan Amat. Langsung saja dia bergegas menyeberang jalan menuju rumah Abi Ihsan yang terletak tidak jauh dari musola. Amat agak heran mengapa Imat malah berjalan menuju rumah Abi Ihsan dan bukannya langsung pergi ke warung. Tapi dia ikuti saja langkah kaki sahabatnya itu.
Imat dan Amat menemukan Abi Ihsan sedang menyapu halaman rumahnya. Langsung saja Imat memberi salam, "Assalamu'alaikum, Bi"
"Wa'alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh..." jawab Abi Ihsan. "Im, Am..darimana mau ke mana, nih?"
"Emang mau ke sini, Bi." jawab Imat cepat, "Ada yang mau ditanyain, nih."
"Belum!" kata Abi Ihsan tak kalah cepat.
Imat kaget sebentar, tapi segera bisa menguasai diri karena ingat kebiasaan Abi Ihsan yang suka bercanda. "Belum apa, Bi?", tanyanya.
"Saya belum sarapan. Tadi mau nanya itu, kan? Jadi, kalau ente berdua mau nraktir sarapan... Boleh banget, deh!" kata Abi Ihsan.
Amat mengeluh dalam hatinya, "Sama juga, dong!"
Imat nyengir, lalu menjelaskan maksud kedatangannya, "Bukan, Bi. Saya cuma mau konfirmasi. Apa Abi pernah bilang ke Amat bahwa Abi adalah penulis berbobot?"
Abi Ihsan nyengir, "Betul itu. Sudah bisa dilihat, kan?" Abi Ihsan memutar badannya sambil tangannya agak direntangkan.
Imat nyengir makin lebar. "Saya bisa lihat, Bi. Cuma, Amat kayaknya belum ngerti, nih", kata Imat sambil menyikut pelan Si Amat.
Amat mengangkat alisnya. "Ngelihat apa, sih?" Dia masih belum faham maksud perkataan Imat.
"Coba kasih tahu kami, menurut ente penulis berbobot itu yang kayak gimana," tantang Imat kepada Amat.
Amat terdiam sejenak, memejamkan mata, lalu berkata, "Penulis berbobot, yaitu penulis yang idenya lancar mengalir dan tulisannya enak dibaca."
Imat mengangguk-angguk, sementara Abi Ihsan mulai terkekeh-kekeh.
"Menurut ente, apa rahasianya sehingga Abi Ihsan bisa jadi penulis berbobot?" tanya Imat lagi.
Amat agak ragu sebelum menjawab. Diliriknya Abi Ihsan yang masih terkekeh-kekeh. Akhirnya diberanikan dirinya untuk menjawab, "Makan cemilan biskuit dan keripik singkong pedas."
Abi Ihsan terlihat makin geli. Dia terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya yang membulat.
Amat terlihat bingung sementara Imat terlihat senyum-senyum saja.
"Maksudnya apa, sih?" akhirnya Amat berani bertanya.
Abi Ihsan mencoba memberi penjelasan di sela-sela kegeliannya, "Yang saya bilang penulis berbobot itu, bukan soal tulisannya, Am. Tapi soal bobot badan alias berat badannya. Kan, ente lihat sendiri, badan saya gede begini. Pasti berbobot, kan?"
Amat jadi bengong sesaat. Semangatnya ngedrop. Rasa malu menjalari mukanya. Rupanya dia termakan candaan Abi Ihsan.
Segera ditariknya tangan Imat menjauh dari Abi Ihsan yang masih terkekeh-kekeh.
Sebentar saja mereka sudah sampai di depan musola. Imat lalu menghentikan langkahnya lalu berkata, "Nah, sekarang udah jelas, kan?"
Amat mengnagguk lemah. "Iya, sih. Udah jelas perkara bobotnya."
Imat menoleh heran ke arah Amat, "Lha, trus, apalagi yang belum jelas?"
Amat menjawab sambil menepuk-nepuk perutnya, "Yang belum jelas, tuh, apakah ente jadi nraktir ane jajan?"
Imat nyengir kuda, lalu digandengnya tangan sahabatnya, "Ayuk, kita ke warung. Ane traktir Nasi Bakar."
Barulah senyum Amat terkembang lebar.
Alhamdulillah.
-o0o-
Komentar
Posting Komentar