KBD: Berita dan Artikel; 27 Dzulqo'dah 1435 H / 22 September 2014


Assalaamu 'alaykum wR. wB.

Segala puji bagi Alloh SWT atas segala curahan ni'mat dan karuniaNya yang tiada terhingga.
Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW............

Sahabat KBD, marilah kita bermohon kepada Allah SWT semoga kita selalu dapat  berupaya untuk meningkatkan iman, ilmu dan amal kebaikan dalam hidup kita..

Sahabat, sore nanti insyaa Allah kita akan bertemu lagi dalam pertemuan KBD. Insyaa Allah, nanti sore kita akan mendengarkan penyampaian tentang Amalan-amalan di Awal bulan Dzulhijjah, mudah-mudahan dapat menjadi tambahan ilmu dan pengetahuan bagi kita.

Buat para sahabat lainnya yang ingin menyumbangkan waktu, pengetahuan serta ilmunya atau yang ingin sharing pengalaman, atau ada usulan tentang materi yang perlu dibahas, silakan hubungi Pak Pur di 5104 / 5112 atau toto di 5113 untuk mendapatkan 'jadwal tayang' nya.

Untuk bahan bacaan pekan ini, silakan simak artikel  di bawah ini, copy paste dari hidayatullah dot com.

Buat para sahabat yang memerlukan, insyaa Alloh email ini dapat juga diakses di kbdorif dot blogspot dot com.
Jika ada teman lain yang ingin di sharing, silakan forward email ini atau daftarkan alamat email nya ke toto.
JIka ada yang tidak berkenan untuk menerima e-mail ini, silakan minta ke toto agar dikeluarkan dari daftar pengiriman.

Jangan lupa - jangan segan - jangan ragu, ajak teman dan sahabat lainnya untuk ikut serta hadir...  Sampai jumpa nanti sore, Insyaa Alloh.......  

Wassalaamu 'alaykum.....


Ghazwul Fikr
Perlukah Membela "Tuhan Membusuk"?
Oleh: Akhmad Rofii Damyati

KONTROVERSI tema Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang digelar pada 28 hingga 30 Agustus lalu, kian menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Kecaman yang mengalir dari masyarakat, mau tidak mau, memunculkan pembela-pembela yang menafsirkan judul tersebut.

Paling tidak Ketua Dewan Mahasiswa Fakultas (Dema F), Rahmat, turun tangan menjelaskan maksudnya. Katanya, 'Tuhan Membusuk' yang dimaksud dalam tema Ospek Maba 2014 yang digelar fakultasnya, bukan Tuhan Zat Yang Esa, melainkan Tuhan-Tuhan yang tumbuh dalam diri manusia tanpa sadar menimbulkan kemusrikan (Musrik Mutasyabihat). Demikian penjelasan Ketua Dema F sebagaimana dilansir www.merdeka.com per tgl. 1 September 2014.

Sementara, di tempat yang lain, Jawa Pos edisi Jumat (05/09) menurunkan opininya yang berjudul "Memaknai Tuhan Membusuk" oleh Masduri, salah seorang akademisi teologi dan filsafat Fak Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis artikel ini seakan bertindak sebagai juru bicara panitia, ia membeberkan tafsirannya dan menganggap panitia sudah dalam tindakan yang benar. sebaliknya, ia menyalahkan pihak-pihak yang mengkritik atau mengecam judul tersebut.

Sejauh penilaian penulis, judul OSCAAR itu memang problem dan sangat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serius. Untuk menilai itu, sebenarnya, tidak diperlukan teori-teori yang rumit, cukup kita perhatikan, sebagai contoh "A telah membusuk". Kalau subyeknya ("A") diganti dengan, umpamanya: KH Hasyim Asy'ari, Gus Dur, Jokowi, Pancasila atau Indonesia, niscaya akan berimplikasi dan berkonsekuensi serius, dilihat berbagai sisi.

Ambil contoh sederhana. Andaikan kita melihat perilaku banyak orang di NU atau Muhammadiyah (ini sekedar contoh) yang korupsi atau melakukan kekerasan atas nama agama, apakah lantas bisa kita katakan NU membusuk atau Muhammadiyah telah mati?

Apapun dalihnya,  bahwa yang dimaksud spirit NU atau Muhammadiyah-nya yang membusuk atau mati, tetap saja kita akan menuai kecaman banyak orang.

Niat baik yang tidak disertai dengan ungkapan yang baik menjadi buruk. Begitu juga sebaliknya, niat jahat yang diungkapkan dengan kata-kata manis juga buruk. Sebaiknya, niat dan artikulasinya haruslah sesuai.

Kasus seperti ini menggambarkan kurangnya ilmu (lack of knowledge) dan hilangnya adab (lost of adab). Ilmu yang semestinya memberikan penjelasan atas kebenaran (tabyin) malah menjadikannya kabur (talbis). Kata Tuhan menjadi kabur maknanya, tidak jelas referensinya. Para pembelanya mengatakan yang membusuk itu nilai-nilai ketuhanannya, bukan Tuhannya. Atau mencipta Tuhan-Tuhan baru dalam diri manusia yang tanpa sadar menimbulkan kemusrikan, katanya.

Padahal jelas-jelas tertulis kata Tuhan tanpa tanda apa-apa. Seandainya diberi tanda petik ('…'), orang bisa memaklumi, ada maksud tertentu di sana. Kalau memang tujuannya untuk mengkritik orang-orang yang membusukkan ajaran agama, sebagaimana diklaim para pembelanya, maka sudah semestinya mengartikulasikannya secara tepat, apakah dengan istilah 'pembusukan Tuhan', 'pembusukan nilai-nilai ketuhanan' dan lain sebagainya. Itu lebih bijak (sophy) dari pada serampangan memilih kata-kata tanpa ilmu dan adab.

Ketidakmampuan memilih kata-kata yang tepat dan akurat menimbulkan hilangnya adab yang ditandai munculnya kata-kata yang sarkasme, apalagi kepada Tuhan. Hilangnya adab seperti ini biasa dianut pada ajaran post-modernisme. Ajaran anti nilai, anti kemapaman, subyektivisme, relativisme merupakan nadi yang sulit lepas dari post-modernisme. Bagi penganutnya, nilai pada kata-kata, ungkapan, proposisi, itu tidak penting. Yang terpenting bagi mereka substansinya (substantialism). Padahal secara ontologis, akurasi kata-kata itu mewakili substansi.

Oleh karena itu, penganut paham posmo (singkatan dari post-modernisme) biasanya suka bersikap nihilis model Friedrich Nietzsche yang mengatakan 'tuhan telah mati' (Bahasa Jerman: Gott ist tot). Namun Nietzsche memang nihilis sejati, tidak setengah-setengah seperti penafsir judul tersebut. Tidak heran kalau pada tahun 1865-an ia menulis surat kepada saudara perempuannya Elisabeth, seorang yang religius, tentang keimanannya yang kosong. Ia menulis:

"Hence the ways of men part: if you wish to strive for peace of soul and pleasure, then believe; if you wish to be a devotee of truth, then inquire…" (Schaberg, William (1996), The Nietzsche Canon, University of Chicago Press, p. 32)

Jadi ungkapan 'Tuhan telah mati' yang ia gaungkan memang berangkat dari ke-ateis-annya. Jadi jika para pembela "Tuhan Membusuk" berdalih bermaksud mengkritisi busuknya nilai-nilai ketuhanan dari manusia, dengan merujuk kepada ungkapan Nietzsche, maka ini ada ketidaksempurnaan dalam memahami  konteks dunia Nietzsche. Jangankan ingin kritik membangun, justru mengundang kebingungan baru bagi semua kalangan.

Karena mementingkan subyektivismenya, kaum yang anti nilai seperti mereka memaksakan penafsirannya sendiri. Yang penting bagi mereka substansi yang ada dalam benaknya itu yang benar, biarpun uangkapannya keliru tidak pernah peduli walau seribu orang lain mengatakannya salah.

Terlihat terlalu memaksakan dalam membela, ketika kasus judul 'Tuhan Membusuk' ini, dianggap cuma dibesar-besarkan oleh pihak-pihak tertentu, dengan alasan itu konsumsi internal mahasiswa bukan untuk umum.

Padahal kalimat 'Tuha Membusuk' itu menjadi grand tema OSCAAR yang tersebar kemana-mana, termasuk kaos OSCAAR pun yang dibagi-bagikan kepada semua mahasiswa berterakan 'Tuhan Membusuk', seperti diberitakan hidayatullah.com . Diberitakan, salah satu orangtua siswa yang melihat kaos anaknya berterakan judul itu marah dan memintanya pindah kampus saja. Jika demikian adanya, judul itu memang disengaja disebarkan ke mana-mana.

Dikatakan, kebanyakan pengkritik terhadap judul itu hanya mengambil sepotong, 'Tuhan Membusuk'.  Sementara sub temanya tidak disertakan. Penulis berpendapat, biarpun sub tema, 'Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan', tetap saja lemah dalam lemah untuk menutupi kata-kata sarkasme pada grand temanya.

Jadi, hemat penulis, karena memang judul OSCAAR UIN Sunan Ampel itu sangat problem, maka membelanya juga akan menimbulkan problem. Sehingga tidak perlu juga pihak-pihak tertentu yang secara berlebihan membelanya tanpa juga menjelaskan problem-problemnya.

Penulis adalah Ketua STIU Al-Mujtama' Pamekasan dan Kandidat Doktor bidang Filsafat dan Ilmu-Ilmu Agama di Süleyman Demirel Üniversitesi, Turki

Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar


http://m.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2014/09/08/28929/perlukah-membela-tuhan-membusuk.html#.VB9vAIHZFAg


Ghazwul Fikr
Metode Ilmiah vs Metode Warung Kopi
Oleh: Abdullah Muadz

SEORANG mahasiswa seharusnya berfikir ilmiah. Secara sederhana ilmiah bisa diartikan  mengambil kesimpulan atau pendapat sesuai dengan fakta dan data yang akurat, valid dan lengkap.

Sekedar contoh seorang oknum mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Rahmad Sholehuddin mengatakan; "Sekarang tidak sedikit orang atau kelompok yang mengatasnamakan Tuhan membunuh orang lain," katanya menjelaskan tema spanduk  'Tuhan Membusuk' "Tuhan Membusuk" [Konstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan] dalam Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, seperti dikutip  beberapa media massa.

Ucapan itu menurut saya, mengalir begitu saja asal bunyi, tanpa data dan fakta disebutkan.

Pada pristiwa apa? Siapa pelakunya? Dan kelompok apa? Siapa korbannya? Apa motif sesungguhnya (dengan analisa yang akurat) sehingga orang bisa disebut 'membunuh atas nama agama?'

Saya ingin memaparkan inilah calon intlektual yang sangat berbahaya karena metode berfikir seperti ini saya sebut "Metode Warung Kopi". Metode ini meminjam kebiasaan sekumpulan orang awam yang sedang duduk di warung kopi sambil ngerumpi ngomong ngalor-ngidul ngetan-ngulon, tanpa juntrungan (tanpa ujung pangkalnya).

Penulis tidak tahu dari informasi apa si oknum mahasiswa tersebut itu bisa cepat berkesimpulan seperti itu, dengan ungkapan "tidak sedikit"  berarti maksudnya "banyak" orang atau kelompok yang mengatasnamakan Tuhan membunuh orang lain" Jangan-jangan hasil kesimpulannya itu karena kebiasaan menonton berita di media-media penggiring opini atau penyuka berita kriminal di koran kuning.

Contoh berikutnya adalah belajar dari model pemberitaan Pemilihan Presiden (PilPres) tahun 2014 dan model pemberitaan pergolakan di Timur Tengah, di mana kita begitu sulit mempercayai berita, karena kita tidak memiliki kemampuan mencari Informasi berita yang berimbang, akurat, valid dan lengkap.

Pilpres tahun 2014 mengajari kita, betapa media-media besar yang katanya dikenal netral rupanya juga pendukung utama salah satu calon presiden, bahkan dukungannya kelewat batas.

Dari Aborsi, Hiroshima sampe ISIS

Istilah 'kekerasan atas nama agama' atau 'membunuh atas nama agama' yang dikutip para mahasiswa Ushuluddin UIN-SA dan dijadikan tema besar "Tuhan Membusuk" maksudnya tak lain, bahwa kelompok yang dianggap suka membunuh adalah klompok yang selama ini dianggap oknum mahasiswa UIN itu adalah orang shalih. "Perilaku ini lazim dilakoni oleh kelompok yang mengklaim paling shaleh. Kelompok yang mengklaim paling islami," demikian lagi-lagi si oknum mahasiwa ini mengatakan tanpa menyebut contoh dan fakta-faktanya dalam pristiwa apa? Kelompok mana dan seterusnya.

Dengan "Metode Warung Kopi" dan sampah seperti ini, bukan saja terjadi pembusukan pada mahasiswa itu sendiri tetapi bisa menyebabkan pembusukan di  masyarakat. Kalau nantinya mereka memegang tampuk kekuasaaan, maka akan terjadi pembusukan juga di tengah-tengah birokrasi dan negara.

Seharusnya oknum mahasiswa itu mempunya data-data lengkap berbagai kasus pembunuhan dengan berbagai motifnya, setelah itu dibuat statistik, terus dianalisa manakah yang paling dominan, motif-motif pembunuhan yang terjadi? Mengapa demikian? Karena mereka mahasiswa bukan kuli bangunan.

Mari kita lihat kasus-kasus dan berbagai motif dalam pembunuhan di masyarakat sebagai berikut :

-Pembunuhan model Aborsi; model minum Pil KB, atau menggunakan suntikan,
-Pembunuhan janin karena malu akibat hamil di luar nikah;  pembunuhan karena perampokan, pencurian,
-Pembunuhan karena tawuran dan perkelahian,
-Pembunuhan karena rebutan lahan parkir atau karena Narkoba dan Miras,
-Pembunuhan karena dendam cinta,dan cemburu,
-Pembunuhan karena persaingan bisnis,
-Pembunuhan karena menghilangkan, jejak,penghilangan barang bukti serta pelenyapan saksi,
-Pembunuhan karena mempertahankan kekuasaan,(contoh Kasus Rumania dan Tiananmen)
-Pembunuhan karena rekayasa politik/permainan elit pusat pemerintahan, (berbagai kerusuhan di tempat kita, salah satu contohnya tokoh HAM, Munir),
-Pembunuhan massal oleh negara karena merebut kekayaan dan minyak di Negara lain,(Lihat sepak terjang Amerika dan Barat),
-Pembunuhan massal karena etnik (lihat kasus Bosnia tahun 1995 dll),  dan lain lain.

Pernahkan paha mahasiswa UIN SA itu membandingkan jumlahnya motif apa pembunuhan itu yang lebih banyak?

Jika berat berfikir, mari saya bantu. Sekedar satu contoh kasus saja pembunuhan model aborsi sebagai berikut :

Dalam diskusi bertajuk aborsi aman dan hak kesehatan reproduksi perempuan di kantor PKBI Jateng Jl Jembawan Semarang, baru – baru ini, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah dokter Hartono Hadisaputro SpOG menyatakan di Indonesia diperkirakan terdapat " 2,5 juta kasus aborsi setiap tahunnya". Artinya diperkirakan ada "6.944 s/d 7.000 wanita melakukan praktik aborsi dalam setiap harinya."

Apakah pembunuhan 2,5 juta bayi-bayi tak berdosa itu atas nama agama?

Pernahkah oknum mahasiswa itu membedah kasus demi kasus seperti peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Lampung, Pristiwa Woyla, Peristiwa Cisendo, Peristiwa Ambon, Peritiwa Poso, Peristiwa Kerusuhan tahun 1998.

Atau kasus yang lebih mendunia  sejarah penjajah atas bangsa Palestina (lebih 66 tahun lamanya)? serangan Amerika dan sekutunya di Iraq dan Afghanistan? Bahkan yang terbaru keinginan Amerika dan Iran menyerang ISIS?

Mengapa oknum mahasiswa UIN itu tak pernah menyebut semua peristiwa yang saya sebutkan itu disimpulkan karena motif agama?

Atau yang paling mudah, pernahkah para mahasiwa itu mengenal lebih dekat kelompok-klompok yang selama selalu divonis media sebagai kelompok 'Garis Keras' seperti; FPI, ASWAJA dan kelompok-kelompok yang memakai kata-kata jihad untuk membela kehormatan Islam.

Mengenal dari dekat maksudnya bukan hanya dari informasi berita saja. Tapi berkenalan langsung denganpengurusnya, melihat dokumen AD/ART nya dan programnya, melihat langsung aktifitas hariannya dan seterusnya. Termasuk mengetahui program kemanusiaan yang begitu banyak yang tidak diliput oleh media?

Apakah oknum mahasiswa itu sedikit yang mau tahu bagaimana permaianan elit politik di pusat yang berhasrat merebut kekuasaaan atau mempertahankan kekuasaan sering membawa dampak sampai ke daerah, yang juga kadang membawa simbol agama?

Atau benar-benar tidak tahu bagaimana kekuatan global dunia dengan neo-imprialismenya menggunakan orang awam beragama dengan simbolnya yang tujuannya hanya menguras kekayaan alam negara jajahannya?

Sudah berapa orang korban mati dalam peristiwa Hirosima, Nagasaki, Vietnam, Somalia, Anggola, Mogadishu, Libya, Afganistan, Korea, Iraq, dan berbagai pembunuhan massal lain yang dilakukan negara bernama Amerika Serikat (AS)?

Atau mahasiswa juga jarang menonton film bertema intelijen, di mana isinya keahlian menghilangkan jejak,  atau membuat sebuah peristiwa akhirnya dialihkan ke fihak lain sebagai tersangka dan sang pelaku?

Jika semua contoh sederhana yang saya kemukakan tadi masih membuat Anda semua ngotot bahwa banyaknya pembunuhan hari ini itu disebabkan oleh motif agama, itu artinya Anda semua (meski sudah mahasiswa) sedang  beratraksi menunjukkan kebodohan Anda semua dan Andalah sesungguhnya yang sedang membuat 'pembusukan' di tengah-tengah masyarakat.*

Pendiri & Pengasuh  Ma'rifatussalaam  Kalijati subang dan Ketua Umum Assyifa Al-Khoeriyyah Subang. Email:  abdullah_muadz@yahoo.co.d  

Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar

http://m.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2014/09/10/29111/metode-ilmiah-vs-metode-warung-kopi.html#.VB9un4HZFAg


Ghazwul Fikr
Mensucikan Tuhan dengan Ilmu dan Adab
Oleh: Kholili Hasib

KONTROVERSI spanduk 'Tuhan Membusuk'  pada kegiatan Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAR) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, yang terjadi beberapa waktu lalu nampaknya masih menyisahkan banyak hal.

Sebelumnya, perang opini juga terjadi di sebuah harian di Jawa Timur. Dimana, beberapa akademisi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel seolah membela diri apa yang dilakukan para mahasiswa  berkisar pada persimpangan pendapat tentang makna Tuhan dan arti "Membusuk". Pemahaman yang benar dan tepat dalam menggunakan kata-kata akan bisa mengakhiri kontroversi tersebut.

Masduri di halaman opini koran Jawapos (5/9/2014) berpendapat bahwa tema itu maksudnya adalah kritik keberagamaan atas matinya nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan beragama umat Islam. Seperti kekerasan beragama atas nama Tuhan yang masih subur. Bagi dia, tema itu baik dan tidak berniat melecehkan Tuhan.

Pendapat tersebut dikritik oleh Anwar Djaelani, pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur di koran ini juga (10/9/2014), bahwa spanduk tersebut tetaplah berarti menghina Tuhan. Dalam tulisannya berjudul "Tuhan Membusuk Itu Sungguh Merisaukan", Anwar berpendapat kata 'membusuk' tidak pantas disandingkan dengan kata 'Tuhan'.

Sehingga, pembelaan yang dilakukan Masduri, kata Anwar, justru akan menghidupkan keresahan masyarakat Islam yang sempat meredup. Tulisan ini lalu ditanggapi oleh Akh. Muzakki, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, pada Kamis (11/9/2014) dengan judul "Membela Tuhan, Menyelamatkan Umat".

Perbedaan persepsi dalam kasus ini tidak bisa dianggap diskursus biasa. Sebab objek yang menjadi bahan perdebatan adalah Tuhan. Ormas-ormas Islam di Jawa Timur tempo hari meributkan kasus ini karena objek yang diperbincangkan adalah Tuhan, bukan seorang bayi.

Semua kaum beragama pasti menjunjung tinggi sakralitas Tuhan. Bahkan aliran Mu'tazilah pun dalam sejarah pemikirannya kita lihat mereka sangat mensucikan Dzat Tuhan. Hanya saja, karena persepsi yang terlalu ekstrim terhadap makna suci, Mu'tazilah menafikan sifat Tuhan. Dalam logika mereka, adanya sifat berarti adanya bilangan. Padahal ke-Esa-an Tuhan itu mutlak. Tidaklah mungkin Tuhan itu berbilang.

Mu'tazilah tetap berpegang teguh dengan konsep, bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Baik sifat Dzat (sifatu al-dzat) atau sifat perbuatan (sifatu al-af'al).

Sifat apapun, tidak boleh disandingkan kepada Tuhan. Jangankan sifat buruk, sifat baik pun tidak diakui Mu'tazilah sebagai sifat Tuhan. Dalam doktrin tauhidnya, segala sifat adalah milik makhluk bukan Tuhan. Sama sekali Mu'tazilah tidak bermaksud merendahkan Tuhan.

Dalam kerangka pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, Mu'tazilah menolak segala pemahaman yang mengarah kepada penyerupaan makhluk (tasybih). Mereka mempercayai bahwa sifat dan Dzat Tuhan adalah satu (al-sifat 'ainu al-dzat). Mu'tazilah adalah kaum bertauhid. Namun Tauhid Mu'tazilah sangatlah ekstrim. Di sini letak kekeliruannya.

Bagi Ahlussunnah wal Jama'ah, pemikiran Mu'tazilah tersebut dimasukkan dalam aliran kalam yang sesat. Meskipun mereka berniat mensucikan Tuhan, dengan sesuci-sucinya. Namun cara dan implikasinya salah. Karena, tidak mempercayai sifat Allah Swt bertentangan dengan Al-Qur'an. Diskusinya masuk kepada ranah akidah. Apapun argumentasi akli kaum Mu'tazilah tetap sesat bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassallam.

Niat jahat diungkapkan dengan kata-kata manis tetap jadi buruk

Jika spanduk mahasiswa UIN Surabaya tersebut ditimbang dalam konteks pemikiran Mu'tazilah pun, tetap keliru besar.

Mu'tazilah sangat tidak mungkin menyandingkan kata 'membusuk' dengan kata 'Tuhan'. Sebab mereka sangat mensucikan Tuhan dengan akal mereka yang sangat ekstrim. Tanpa mendahulukan dalil al-Qur'an dan hadis.

Ini berarti, kadar kekeliruannya lebih sesat daripada Mu'tazilah. Mungkin saja, andaikan kejadian spanduk UIN Surabaya itu terjadi pada zaman Khalifah al-Ma'mun yang beraliran Mu'tazilah, para mahasiswa itu akan dihukum mati oleh hakim Mu'tazilah, tanpa memberi kesempatan para pelakunya untuk 'membual'. Mereka masih beruntung di sini, baru mendapatkan kecaman.

Wacana ke-Tuhan-an bukan diskursus yang biasa. Apalagi menyangkut kepercayaan kaum Muslimin. Membincangkan tentang konsep Tuhan harus sangat hati-hati. Niat baik yang tidak disertai dengan ungkapan yang baik menjadi buruk. Begitu juga sebaliknya, niat jahat yang diungkapkan dengan kata-kata manis juga buruk. Sebaiknya, niat dan artikulasinya haruslah sesuai dan seirama.

Seorang akademisi mestinya mampu menempatkan posisi pemikirannya. Jika hendak mensifati 'sesuatu', maka ia mesti faham konsep 'sesuatu' itu. Tidak kenal pada 'sesuatu' akan melahirkan sikap yang keliru tentang 'sesuatu' itu. Para mahasiswa filsafat, seharusnya telah dilatih berpikir sehat dan etis. Tujuan belajar filsafat adalah bukan untuk 'gaya-gaya-an' pamer wacana aneh. Mahasiswa belajar filsafat agar mampu berpikir mendalam, rasional, sehat dan sistematis.

Menulis spanduk 'Tuhan Membusuk' jelas sekali tidak etis dan tidak sehat. Spanduk itu ternampak hanya untuk 'gaya-gaya-an'. (kemenyek, Jawa). Padahal tidak sehat dan juatru menunjukkan kedangkalan rasionalitas.

Seorang pembelajar filsafat mampu menempatkan diri. Mungkin para mahasiwa tersebut masih belum dilatih berperilaku bijak. Maka akhirnya mereka mirip anekdot ; seorang santri bersarung memakai topi koboi, tak mampu naik kuda. Inginya menjadi koboi yang hebat menunggang kuda, tapi masih pakai sarung kedodoran. Niatnya seperti orang Barat, tapi kecerdasan tidak memadai.

Berpikir bijak contohnya mudah. Misalnya, sebagai warga negara Indonesia, kita menghormati Susilo Bamang Yudhoyono (SBY), karena kita mengenal beliau adalah seorang Presiden RI, bukan seorang kuli bangunan. Andaikan seseorang bernama Susilo Bambang Yudhoyono itu adalah kuli bangunan, kita mungkin tidak akan menghormat jika bertemu. Kita menghormatinya sesuai kapasitas dan kedudukannya di masyarakat.

Kita pun tidak berani memasang spandung "SBY Membusuk". Dengan niat dan alasan apapun. Jika misalnya kita berargumentasi bahwa maksudnya adalah kritik terhadap para pendukung SBY yang membabi-buta dan matinya nalar para pecinta beliau, kita tetap akan diprotes dan dipidana.

Ketika akan mengkritik para pendukung SBY, kita harus kenal dulu siapa SBY itu. Jangan disamakan SBY dengan tukang parkir.
Membela SBY haruslah wajar dan mengkritiknya pun selayaknya juga dengan cara yang sehat juga. Inilah yang disebut adab. Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan posisi yang sewajarnya. Al-Attas (2003:137) mengungkapkan orang yang beradab adalah orang yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata'ala.

Begitu pula ketika kita akan mengkritik nilai-nilai ketuhanan dalam pikiran kaum Muslimin. Kita harus mengenal konsep ketuhanan (ma'rifatullah). Siapa Tuhan itu, apa yang pantas kita katakana untuk Tuhan, bagaimana berinteraksi dengan Tuhan dan lain sebagainya.

Jangankan menyematkan sifat 'membusuk' kepada Tuhan, mengatakan 'Tuhan dimana-mana' adalah dilarang. Sebabnya, kata 'dimana-mana' menunjukkan Tuhan bertempat. Padahal, dalam akidah Ahlussunnah wal Jama'ah, Tuhan itu tidak bertempat. Kita mengenal Tuhan melalui al-Qur'an dan Hadis. Dari sumber utama ini kita mengetahui sifat-sifat Tuhan.

Ketidakmampuan memilih kata-kata yang tepat menunjukkan hilangnya adab dan tidak mengenal objek, yang ditandai munculnya kata-kata yang sarkasme itu. Kasus seperti ini juga menggambarkan rusaknya ilmu (corruption of knowledge) dan hilangnya adab (lost of adab). Ilmu yang semestinya memberikan penjelasan atas kebenaran (tabyin) malah menjadikannya kabur (talbis). Kata Tuhan menjadi kabur maknanya, tidak jelas referensinya. Kata 'membusuk' pun dipersepsi dengan makna yang kabur.

Karena itu, membela 'Tuhan Membusuk' seperti yang dilakukan Masduri kemudian didukung oleh Akh. Muzakki tidaklah tepat.

Membela harus dengan adab dan ilmu. Jika kita sudah mengenal Tuhan, maka pasti kita tidak akan menyandingkan kata 'membusuk' dengan kata 'Tuhan'. Sebab, konsekuensinya sungguh berat. Kata 'membusuk' adalah kata-kata kasar yang tidak sopan. Apapun alasan menggunakannya kita tetap salah. Maka, polemik ini harus diakhiri dengan sama-sama mengenal makna Tuhan dengan mengedepankan nilai-nilai akhlak. Tak kenal maka tak beradab.*

Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya

Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar


http://m.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2014/09/15/29488/mensucikan-tuhan-dengan-ilmu-dan-adab.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fw: Bacaan bulan ramadhan

KBD: Berita dan Artikel; 29 Rajab Akhir 1438 H / 26 April 2017

Musholla lt 23 pindah ke area baru